Sunday, December 25, 2011

Tentang @afaf_feby dan Gunungkidul

Senja tanggal 25 Desember 2011 ini linimasa saya di twitter dijejali oleh twit beberapa rekan yang mem”bully” akun twitter @afaf_feby atas nama Afaf Faradilla. Setelah ditelusuri, ternyata hal tersebut dipicu oleh beberapa twit dari @afaf_feby yang memprovokasi dan menyinggung perasaan pihak-pihak tertentu.


Sebelum bercerita lebih jauh ada baiknya Kita sedikit menyingkirkan kabut samar yang menutupi identitas siapa sebenarnya @afaf_feby atau Afaf Faradilla ini. Dari bio di akun twitternya, dia hanya menulis “Rumput tetangga gak lebih hijau dari yang dibayangkan”. Bio tersebut saya rasa hampir tidak menggambarkan identitas maupun kepentingannya. Oleh karena itu saya mencoba melakukan sedikit observasi melalui mesin pencari dalam digital media.
 
Afaf Faradilla (Afaf) yang lahir pada tanggal 28 Februari 1979 merupakan alumni SMA Negeri 1 Lubuklinggau tahun 1997. Setelah lulus SMA, Afaf melanjutkan kuliah di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sriwijaya jurusan Pendidikan Biologi. Berhasil menyelesaikan pendidikannya pada bulan Maret tahun 2003, hingga saat ini Afaf mengajar Biologi sebagai guru honorer di Pondok Pesantren Al-Azhar dan SMA Budi Utomo Lubuklinggau.

Selain sedikit uraian diatas dan beberapa tautan yang mengarah ke blog pribadinya yang bisa dikunjungi melalui alamat faradilla-sholehah.blogspot.com, tidak banyak data dan publikasi media yang bisa digali dari Afaf. Bahkan hingga tulisan ini selesai saya tulis, akun facebook-nya diatur melalui fitur privasi hingga sulit ditemukan melalui mesin pencari maupun melalui fitur pencarian di facebook.
 
Perseteruan antara Afaf dengan penghuni twitterland dari Gunungkidul dimulai dari pernyataan bahwa Gunungkidul (salah satu kabupaten di provinsi D.I.Yogyakarta) merupakan daerah dengan tingkat Kristenisasi yang tersukses di Indonesia.  Menurut Afaf, hal tersebut dipicu oleh kondisi Gunungkidul yang tandus, gersang, miskin, dan hanya menyisakan sedikit harapan untuk hidup sejahtera di wilayah ini. Dalam twit selanjutnya Afaf juga membandingkan Gunungkidul dengan Nusa Tenggara Timur dimana menurut Afaf dalam perspektif Missionaris masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut merupakan “domba-domba yang terselamatkan”.
 
Saya sendiri paham dengan kegeraman, kemarahan, dan kejengkelan beberapa rekan di twitterland. Saya mengenal Gunungkidul sebagai sebuah daerah yang menarik dimana secara geografis Gunungkidul memiliki daerah-daerah yang memang kering seperti yang banyak diberitakan oleh media. Namun demikian saya pribadi memastikan bahwa ada wilayah-wilayah di Gunungkidul yang bahkan tidak pernah mengalamai masalah kekurangan air sama sekali. Dalam hal ini saya rasa tidak perlu diperdebatkan apakah Gunungkidul merupakan daerah tandus, gersang, dan miskin seperti yang diungkapkan oleh Afaf atau tidak. Saya yakin bahwa Afaf sendiri belum pernah menginjakkan kakinya di berbagai wilayah di Gunungkidul yang pemberitaannya belum tersampaikan oleh media-media yang dia akses.
 
beberapa twit @afaf_feby yang sempat diabadikan sebelum twit-twit ini dihapus

Bicara tentang Kristenisasi dan kesuksesan missionaris di Gunungkidul saya sendiri justru sedikit geli membaca uraian Afaf. Terlebih peryataan Afaf tentang Kristenisasi sama sekali tidak didukung oleh data yang bisa dipertanggungkan validitasnya. Saya mengenal Gunungkidul sebagai salah satu daerah yang paling minim konflik horizontal khususnya karena masalah agama. Masyarakat Gunungkidul secara umum hidup damai berdampingan satu sama lain. Tidak ada masalah yang berarti antara mereka yang memeluk agama Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan aliran kepercayaan tradisional yang masih tersisa pada wilayah-wilayah tertentu. Bahkan dalam beberapa obrolan saya dengan beberapa rekan, tatanan sosial masyarakat di Gunungkidul bisa diangkat sebagai sebuah model pembangunan pluralisme di Indonesia sekaligus sebagai laboratorium sosial.
 
Latar belakang pernyataan menyimpang dari Afaf saya rasa dilatarbelakangi oleh kebutaannya tentang kondisi nyata Gunungkidul. Terpaan media yang didapat oleh Afaf saya rasa hanya meliputi tentang pemberitaan-pemberitaan dengan tone negatif. Oleh karena itu wajar rasanya jika wacana yang terbentuk dalam benak Afaf tentang Gunungkidul adalah berbagai hal yang menyedihkan. Dangkalnya pemahaman Afaf tentang Gunungkidul bisa dimanfaatkan oleh berbagai pihak tak bertanggungjawab, khususnya yang ingin mengaitkan isu kemiskinan dan isu Kristenisasi. Lebih jauh lagi, perilaku Afaf bisa dibedah menggunakan teori pembelajaran sosial (Social Learning Theory) dari Albert Bandura dengan mengaitkan perilaku Afaf dan lingkungan sekitarnya.
 
Sore ini saya memilih menahan diri untuk tidak mem”bully” Afaf di twitterland. Ada yang tidak beres dengan pemikirannya dan mungkin juga ada rasa ketidakamanan (insecure) dengan keyakinannya. Tidak seharusnya dia merusak semangat perdamaian dan cinta kasih rekan-rekan Kita yang hari ini merayakan hari Natal.
 
Never get into fight with moron people, they have nothing to lose.

6 comments:

  1. jadi jangan sekali2 anda ( @afaf_feby ) membicarakan GUNUNGKIDUL, apalagi mencela, klow anda(@afaf_feby) blum prnah menginjakkan kaki di GUNUNGKIDUL

    ReplyDelete
  2. Hebat mas dida..

    ReplyDelete
  3. emang gila tuh org.. lagi Natal malah bawa2 isu SARA yg bisa megnadu domba umat beragama..

    ReplyDelete
  4. nice artikel
    masih ada historynya?
    saya mau ikut lurking nih

    ReplyDelete
  5. @Zetsudou Sougi >> Thank you. Maksudnya history-nya itu history apa ya? :)

    ReplyDelete
  6. waaaawwwww...alumni sekolah ku >0<

    ReplyDelete