Monday, March 28, 2011

Perempuan, Sepatu, dan Laki - Laki Pilihan

Akhir pekan lalu, pacar saya dan mama-nya menghabiskan waktu dengan cara jalan-jalan di beberapa pusat perbelanjaan. Dua hari berturut-turut, acara jalan-jalan itu selalu diisi dengan aktivitas “berburu” sepatu. Sama halnya dengan mama dan tante saya sendiri, beberapa waktu yang lalu mereka menghabiskan waktu lebih dari 3 jam hanya untuk melakukan aktivitas yang sama, “memburu” barang yang sama yaitu sepatu.

Mungkin acara seperti itu adalah wujud konkret “quality time” yang sangat menyenangkan bagi sebagian besar perempuan. Jadi jangan heran jika mereka punya stamina yang luar biasa saat berada di sebuah department store atau shoes counter. Jika dianalogikan, mungkin seperti singa yang berada di sebuah padang rumput yang penuh dengan kawanan rusa. Jadi jelas, jangan pernah meremehkan stamina kaum hawa dalam hal yang satu ini. Hehehe...

Omong-omong tentang perempuan dan sepatu, saya jadi ingat sebuah guyonan lawas tentang perempuan, sepatu, dan laki-laki pilihan. Guyonan lawas ini bercerita tentang bagaimana sebenarnya perempuan itu memilih sepatu seperti dia memilih laki-laki untuk membangun suatu hubungan. Analoginya memilih model sepatu tentu berdasarkan suatu tujuan tertentu begitu juga dengan memilih laki-laki. Dalam hal ini kita abaikan perempuan-perempuan yang memilih sepatu dan memilih laki-laki secara random (kalaupun ada). 

Saturday, March 19, 2011

Teroris dan Terorisme

Terorisme. Teroris.
Apa yang ada dipikiran anda ketika mendengar istilah itu disebut?

Hari ini saya sedikit geli namun juga sedikit jengah ketika berkunjung ke sebuah forum diskusi yang konon katanya merupakan “The Largest Indonesian Community”. Ceritanya, saat saya masuk ke beberapa thread di ruang The Longue, saya menemukan ada beberapa thread yang bercerita tentang terorisme di Indonesia. Hal tersebut adalah sesuatu yang wajar mengingat akhir-akhir ini hampir semua media kita dijejali dengan beragam berita tentang adanya bom kategori low explosive dari teroris yang dikirim ke beberapa tokoh dimana bom tersebut dikemas dalam bentuk paket buku.
illustration by Ridha Ridha

Sunday, March 06, 2011

Dedemit Gunung Kidul

Belum juga dirilis ke pasar, film produksi PT. K2K Production yang berjudul "Dedemit Gunung Kidul" dan disutradarai oleh Yoyok Dumpring ini ternyata sudah menuai kontroversi. Alasannya klasik, film ini dianggap melecehkan. Hal tersebut setidaknya saya dapatkan dari forum online masyarakat lokal yaitu wonosari[dot]com dimana dalam salah satu topik diskusi sudah muncul ajakan boikot film Dedemit Gunung Kidul.

Saya pribadi tidak merasa terganggu dengan hadirnya film "Dedemit Gunung Kidul" yang rencananya akan dirilis pada tanggal 17 Maret 2011 ini. Saya menganggap bahwa film semacam ini merupakan sebuah komoditas industri hiburan dan perfilman tanah air semata, bukan sebagai sebuah media transmisi informasi nyata atau berita. Bagi sebagian orang di berbagai kota besar, mungkin Gunungkidul merupakan suatu daerah yang eksotis. Daerah batuan kapur yang konturnya tidak rata, kering, persebaran penduduknya tidak merata, dan masyarakatnya dinilai masih tradisional. Sehingga tidak heran jika film-film dengan tema seperti ini sebenarnya mudah dikembangkan dengan setting Gunungkidul.
poster film Dedemit Gunung Kidul

Saturday, March 05, 2011

Virtual Identity

Cyberspace. Saya memahaminya sebagai sebuah ruang yang memiliki budaya dimana peradaban di dalamnya terus berkembang dari waktu ke waktu, bukan lagi sebagai sebuah ruang tempat data dan dokumen berlalu lalang seperti yang ada pada akhir abad XX yang lalu. Dalam mengkaji perkembangan budaya di dalam cyberspace dikenal istilah cyberculture yang mengkritisi cyberspace baik dari aspek sosial, ekonomi, politik, dan ideologi.
ilustrasi oleh bekesijoe

Salah satu hal yang terus menjadi perbincangan dalam cyberculture adalah tentang identitas virtual (virtual identity). Perbincangan tentang identitas ini menjadi menarik mengingat ada perbedaan konsep diri “self” antara identitas di dunia nyata dan identitas di cyberspace. Dalam dunia nyata, konsep identitas dipahami dengan satu paham bahwa “satu tubuh, satu identitas” (Judith : 1996). Identitas tersebut akan terpaku dalam satu tubuh yang akan berkembang dan berubah seiring bertambahnya usia. Dalam dunia virtual, seseorang dalam dunia nyata bisa saja membuat satu, dua, tiga, atau bahkan ribuan identitas virtual sesuai dengan kemauan dan kemampuan. Dengan kata lain, identitas virtual tidak memiliki tautan yang sifatnya rigid dari waktu ke waktu. Seorang individu bisa saja berpindah dari satu identitas yang sudah dia konstruksi ke identitas lainnya hanya dalam hitungan detik. Selain itu, komponen-komponen identitas dalam dunia nyata misalnya umur, jenis kelamin, ras, tingkat pendidikan, tempat tinggal, dan status perkawinan menjadi sangat bias ketika identitas dikonstruksikan melalui Computer Mediated Communication (CMC).