Cyberspace. Saya memahaminya sebagai sebuah ruang yang memiliki budaya dimana peradaban di dalamnya terus berkembang dari waktu ke waktu, bukan lagi sebagai sebuah ruang tempat data dan dokumen berlalu lalang seperti yang ada pada akhir abad XX yang lalu. Dalam mengkaji perkembangan budaya di dalam cyberspace dikenal istilah cyberculture yang mengkritisi cyberspace baik dari aspek sosial, ekonomi, politik, dan ideologi.
ilustrasi oleh bekesijoe |
Salah satu hal yang terus menjadi perbincangan dalam cyberculture adalah tentang identitas virtual (virtual identity). Perbincangan tentang identitas ini menjadi menarik mengingat ada perbedaan konsep diri “self” antara identitas di dunia nyata dan identitas di cyberspace. Dalam dunia nyata, konsep identitas dipahami dengan satu paham bahwa “satu tubuh, satu identitas” (Judith : 1996). Identitas tersebut akan terpaku dalam satu tubuh yang akan berkembang dan berubah seiring bertambahnya usia. Dalam dunia virtual, seseorang dalam dunia nyata bisa saja membuat satu, dua, tiga, atau bahkan ribuan identitas virtual sesuai dengan kemauan dan kemampuan. Dengan kata lain, identitas virtual tidak memiliki tautan yang sifatnya rigid dari waktu ke waktu. Seorang individu bisa saja berpindah dari satu identitas yang sudah dia konstruksi ke identitas lainnya hanya dalam hitungan detik. Selain itu, komponen-komponen identitas dalam dunia nyata misalnya umur, jenis kelamin, ras, tingkat pendidikan, tempat tinggal, dan status perkawinan menjadi sangat bias ketika identitas dikonstruksikan melalui Computer Mediated Communication (CMC).
Salah satu hal yang selalu menarik dibicarakan dalam identitas virtual adalah tentang anonimitas (anonymity). Anonimitas dalam identitas virtual secara psikologis ternyata membawa berbagai dampak misalnya adalah hilangnya keseganan, ketakutan, dan keterikatan seorang individu terhadap belenggu sistem sosial yang ada di dunia nyata. Kesempatan ini memungkinkan seorang individu yang di dunia nyata tersisih dan termarjinal karena pola pikirnya tidak sesuai dengan apa yang dikonstruksi di masyarakat dimana dia tinggal menjadi seorang influencer yang hebat dalam cyberspace.
Ketika saya belajar tentang cybermedia beberapa semester yang lalu, banyak mahasiswa di kelas saya (termasuk saya sendiri) yang berasumsi bahwa anonimitas dalam identitas virtual merupakan representasi sifat pengecut. Hal tersebut berdasarkan asumsi bahwa ketika seseorang menggunakan identitas virtual yang anonim, itu artinya dia sudah bersiap untuk lari dari tanggung jawab. Sayangnya akhir-akhir ini bagi saya pribadi asumsi itu sedikit banyak telah runtuh, khususnya dalam media sosial semacam twitter.
Twitterland is the new battlefield. Sejak dikenal dan berkembang di Indonesia beberapa tahun belakangan ini, twitter menjadi sebuah “medan tempur” yang baru dan memiliki korelasi yang kuat dengan realitas sosial. Isu-isu yang diangkat di dalamnya bisa berkaitan dengan masalah sosial, politik, ekonomi, hingga ideologis sekalipun. Sehingga tidak menutup kemungkinan hal tersebut akan membawa dampak di dunia nyata.
Alasan runtuhnya asumsi bahwa penggunaan anonim sebagai sebuah identitas adalah kondisi Indonesia yang selain kaya akan sumber daya alam juga kaya akan kelompok masyarakat yang pengecut. Seperti yang sudah saya utarakan pada paragraf diatas bahwa twitter memiliki korelasi yang kuat dengan realitas sosial, ada kekhawatiran bahwa pihak-pihak yang merasa terancam salah satunya secara ideologis akan “balas dendam” di dunia nyata dengan cara anonim juga. Misalnya dengan cara meneror, merusak, membakar,dan menyerang bersama sekawanan manusia yang memakai penutup kepala entah itu topeng, cadar, atau apapun itu. Yang lebih mengkhawatirkan dan menjadikan tindakan itu sebagai tindakan pengecut adalah ketika sekawanan manusia itu melakukan balas dendam bukan terhadap individu yang dianggap mengalahkan mereka dalam “pertempuran” di twitterland, namun kepada orang lain misalnya orang tua, suami, istri, anak, saudara, atau orang lain yang disayangi oleh target balas dendam.
Itulah alasan mengapa akhir-akhir ini saya memberikan rasa toleransi kepada beberapa identitas virtual yang sifatnya anonim. Mereka yang memiliki pemikirian yang cerdas dan kritis (menurut saya pribadi) terhadap ancaman homogenisasi negara ini berada di bawah ancaman yang cukup serius. Oleh karena itu saya percaya bahwa memberikan sedikit perlindungan bagi mereka yang disayangi dari ancaman kaum radikal yang pengecut bukanlah suatu kesalahan. Karena saya yakin bahwa seorang ksatria terbaik sekalipun tidak akan rela ketika orang-orang yang mereka sayangi itu disakiti.
Positif atau negatifnya sebuah identitas virtual dan anonimitas kini menjadi sesuatu yang benar-benar subjektif, tergantung dengan konteks serta bergantung pada di pihak mana anda berada.
Referensi:
Donath, Judith S. 1996. Identity and Deception in The Virtual Community. MIT Media Lab. London: Routledge - diakses melalui http://tinyurl.com/2wan8ao
No comments:
Post a Comment