Sunday, January 30, 2011

300 = Film Anti Iran?




Disela-sela waktu memikirkan skripsi, mengerjakan sebuah event, dan berkumpul dengan keluarga, akhir pekan ini saya lewatkan dengan menonton kembali film berjudul “300”. Mengapa saya bilang menonton kembali? Yap.. alasannya tak lain adalah karena saya telah menonton film ini lebih dari 7 kali sejak film ini pertama dirilis di pasaran Indonesia sejak tanggal 16 Maret 2007 yang lalu.

“300” merupakan film hiperrealis yang disutradarai oleh Zack Snyder dan di produksi oleh Warner Bross Pictures. Film ini mengisahkan tentang kegagahan 300 prajurit Sparta yang dipimpin oleh raja Leonidas dan dibantu segerombolan pasukan yang bermodal nekat meski tanpa skill yang memadai melawan serangan besar kekaisaran Persia yang dipimpin oleh Xerxes dalam pertempuran Thermophylae di Yunani (invasi kekaisaran Persia ke kawasan Eropa Timur) pada tahun 480 SM. Dalam beberapa hari awal pertempuran, ke-300 pasukan Sparta bersama Leonidas seakan tidak menemukan masalah yang berarti ketika menghadapi gempuran demi gempuran pasukan Persia. Hal tersebut bisa terjadi mengingat semua pasukan Sparta merupakan pasukan elit yang terlatih dan telah melalui “seleksi” bahkan sejak mereka terlahir di dunia. Pasukan Sparta tersebut akhirnya baru menerima masalah besar ketika ada seorang pengkhianat yang membocorkan rahasia bahwa ada jalan pintas yang bisa digunakan untuk mengepung pasukan Sparta tersebut. Dalam hal ini entah mengapa saya jadi ingat tentang beberapa literatur yang pernah saya baca dimana dalam literatur tersebut dijelaskan bahwa Sparta merupakan bagian dari Yunani Kuno yang berbentuk sebuah polis (negara kota / meski sering juga disebut sebagai kerajaan) dimana hampir seluruh rakyatnya merupakan prajurit / tentara.

Dari segi komersial, sejak dirilis pertama kali di USA pada tanggal 9 Desember 2006, film yang biaya pembuatannya diperkirakan mencapai 65,000,000 USD langsung memperoleh kesuksesan besar dengan mendaki tangga box office serta langsung “balik modal” lewat hasil seminggu pemutaran perdananya di USA yang diperkirakan dalam jangka waktu itu keuntungan yang diraih mencapai 70,900,000 USD.



Berbicara tentang kesuksesan, sepertinya akan kurang lengkap tanpa kita berbicara tentang masalah yang muncul. Karena seperti sudah menjadi hukum alam dimana tidak ada kesuksesan tanpa masalah sedikitpun di jagat raya ini. Begitu juga dengan film “300” yang ternyata “bermasalah” ketika dihadapkan dengan audiens dari Iran. Masyarakat Iran ternyata justru memilih untuk bersikap resisten terhadap film ini. Menurut pendapat mereka, film ini terlalu banyak mengandung distorsi dimana di dalamnya terdapat pembelokan sejarah. Mereka juga beranggapan bahwa “300” telah melecehkan dan merendahkan bangsa Persia dengan merepresentasikan mereka sebagai bangsa yang kasar, suka kekerasan dan suka menindas.

Pada tingkatan yang lebih tinggi, Javad Shamqadri yang pada waktu itu menjabat sebagai penasehat seni Presiden Ahmadinejad menuding bahwa “300” merupakan sebuah bentuk penghinaan terhadap budaya Persia yang tidak lain merupakan nenek moyang dan cikal bakal masyarakat Iran. Selain itu Javad juga menuding bahwa film ini juga sejalan dengan perang urat saraf antara Amerika Serikat dengan Iran. Lebih dari itu, sebagian masyarakat juga mengkaitkan alas an pembuatan film itu tidak jauh dari konflik Washington dengan Teheran terkait dengan isu nuklir yang berkembang dalam beberapa tahun terakhir sebelum film ini dirilis di pasar global.

Resistensi Iran juga ditunjukkan melalui perwakilan Iran di UNESCO yang melayangkan surat protes serta meminta UNESCO bereaksi tegas kepada para pembuat film tersebut. Hal itu juga didukung dengan masyarakat Iran yang menggelar petisi melalui media internet serta mengirim email kampanye ke seluruh dunia. Semua usaha itu mengindikasikan betapa seriusnya masalah ini bagi masyarakat Iran. Di negara seperti Indonesia yang sebagian masyarakatnya entah memang memiliki solideritas yang terlampau tinggi atau memang memiliki kecenderungan untuk bernafsu mengurusi urusan orang lain, ada beberapa kalangan yang merasa memiliki kedekatan emosi dengan bangsa Timur Tengah khususnya Iran serta sebagian masyarakat penganut ideologi anti Amerika juga turut mengecam film “300” ini.

Menurut saya, core dari permasalahan ini adalah perbedaan pemaknaan peran media yang dalam konteks ini adalah film. Disatu sisi, menurut saya Iran dan pendukungnya menganggap bahwa film ini mungkin merupakan suatu media yang mentransformasikan pesan dari satu individu ke individu yang lain atau bahkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Intinya seolah mereka menganggap bahwa film merupakan media informasi yang valid dan bisa dijadikan sebagai acuan sejarah. Sedangkan di sisi lain, produsen film menganggap bahwa film merupakan sebuah produk dari industri kreatif yang sifatnya menghibur dan bisa dijadikan sebagai komoditas di pasar hiburan secara global.

Saya pribadi sepakat bahwa film merupakan suatu media yang bisa dijadikan sebagai media propaganda yang efektif dalam suatu proses doktrinasi. Contohnya adalah film “Janur Kuning” yang sangat populer di era kepemimpinan Presiden HM. Soeharto dimana film tersebut berisi propaganda pemerintah untuk terus mengingatkan masyarakat akan bahaya laten PKI di Indonesia. Selain itu saya juga sepakat jika film merupakan suatu media yang bisa digunakan untuk mengangkat, menggambarkan, dan mengkritisi realitas kehidupan sosial. Contoh sederhananya adalah film “Perempuan Punya Cerita” yang merupakan kumpulan 4 film pendek yang menggambarkan subyek dmelalui perspektif perempuan yang disutradarai oleh Upi Avianto, Nia Dinata, Fatimah Rony, dan Lasja Fauzia Susatyo atau film “cin(T)a” yang berani mengangkat diskusi tentang kisah cinta oleh insan yang berbeda agama. Selain itu masih banyak juga film-film dokumenter yang setiap tahunnya diputar di berbagai festival film dokumenter yang diselenggarakan di berbagai negara di dunia. Meskipun demikian, dalam film “300” ini saya lebih sepakat bahwa film ini merupakan film yang dibuat untuk tujuan hiburan dan komersial semata. Toh hingga saat ini saya tidak pernah mendengar atau melihat bahwa pembuat film ini mengklaim bahwa film ini merupakan film dokumenter yang sesuai dengan sejarah. Tentang scene-scene yang sarat akan adegan kekerasan yang hanya pantas untuk disaksikan oleh audiens yang sudah dewasa, toh Motion Picture Association of America (MPAA) memberikan rating R untuk film ini.

It just my honest opinion. How about you?


_______________________
references:

No comments:

Post a Comment