Salah satu rasa penasaran saya ketika saya masih sangat muda (baca: anak-anak) adalah tentang bagaimana bambu runcing dan semangat solideritas yang luar biasa mampu mengalahkan penjajah yang memiliki senjata modern yang secara logika memiliki daya hancur puluhan bahkan ratusan kali lipat dari bambu runcing yang digunakan oleh para pejuang kita (pada masa itu saya belum paham tentang hal-hal seperti kejawen, santet, dan lain sebagainya). Penasaran itu rasanya terus terpupuk sejalan dengan berbagai cerita yang dituturkan oleh nenek dan mama saya tentang perang kemerdekaan yang berkobar di bumi nusantara ini.
Masih jelas dalam ingatan otak saya sebuah pelajaran PPKn ketika saya masih menuntut ilmu di bangku Sekolah Dasar yaitu tentang solideritas. Dalam pelajaran itu Ibu Guru selalu menjelaskan bahwa salah satu pondasi yang mampu menegakkan negeri ini hingga menjadi suatu negara yang merdeka adalah solideritas yang dimiliki masyarakat Indonesia yang tak lepas dengan paduan semangat gotong royong dan toleransi antar manusia. Meskipun belakangan ini temuan saya di dunia nyata dan dunia maya menunjukkan bahwa saat ini khususnya solideritas dan toleransi masyarakat Indonesia tidak seindah cerita dari nenek dan mama saya serta pelajaran PPKn yang saya terima di bangku Sekolah Dasar dulu. Meskipun demikian, saya tetap mengambil pelajaran bahwa solideritas itu memang harus ditanamkan di kepala setiap individu di Indonesia sejak usia dini dengan batas-batas tertentu.
Beberapa malam yang lalu saya bertemu dengan salah seorang teman SMA saya dulu yang sekarang menjadi seorang penggemar dan pendukung sepak bola nasional. Dia bercerita panjang lebar dibumbui dengan sedikit umpatan-umpatan kecil dimana topik cerita itu berkisar tentang kabar bahwa Irfan Bachdim diklaim oleh Malaysia. Ketika saya bertanya mengapa dia bisa sampai se-emosi itu, jawaban yang keluar adalah apa yang dia rasakan merupakan wujud dari solideritas sebagai pendukung sepak bola nasional termasuk di dalamnya tim nasional Indonesia yang saat ini berjuang di kejuaraan Piala AFF 2010. Yang terlintas dalam otak saya saat itu justru bukan bagaimana masalah klaim Malaysia terhadap Irfan Bachdim namun justru bagaimana bisa teman saya yang jika saya lihat dari aspek demografis berasal dari kalangan menengah dengan SES B+ dan tingkat pendidikan yang relatif tinggi bisa dengan mudahnya terpancing emosi tanpa mencerna asal usul informasi dan aspek lainnya. Dalam penelusuran saya melalui beberapa media nasional dan beberapa forum di dunia maya, klaim itu bukan dilontarkan oleh pihak yang memiliki legalitas entah itu pemerintah Malaysia maupun pihak tim nasional sepak bola Malaysia. Klaim itu hanya dilontarkan dalam sebuah forum di dunia maya dengan id user yang tidak memiliki kapasitas dan legalitas untuk mengajukan klaim terhadap Irfan Bachdim.
Bicara tentang solideritas dan hubungan bilateral antara Indonesia – Malaysia, saya jadi ingat dengan salah satu isu yang secara masif menjadi perbincangan hampir di seluruh penjuru nusantara (salah satunya juga dipancing oleh pemberitaan media nasional) yaitu tentang penganiayaan Manohara Odelia Pinot yang dilakukan oleh suaminya, Tengku Muhammad Fakhry Petra putra ke-3 Raja Kelantan, Malaysia. Secara sederhana, apa yang dialami oleh Manohara merupakan sebuah masalah KDRT ataupun woman abuse. Namun setelah kasus ini diangkat oleh berbagai media nasional di Indonesia, isu ini menjadi sebuah isu nasional yang memancing reaksi masyarakat umum untuk bergerak. Salah satunya melalui demonstrasi di berbagai kota di Indonesia (salah satu metode penyampaian aspirasi yang kurang elegan bagi saya pribadi). Bahkan tidak menutup kemungkinan terdapat aksi pembakaran bendera negara Malaysia, foto presiden Malaysia, atau lambang kenegaraan lainnya dalam aksi tersebut. Usut punya usut, ternyata menurut mereka salah satu latar belakang keikutsertaan mereka dalam berbagai aksi terkait isu Manohara ini adalah solideritas bangsa Indonesia. Sedangkan di negeri Jiran sana, menurut salah satu dosen tamu dari Malaysia yang berkunjung ke Fisipol UGM waktu itu serta menurut penelusuran saya di beberapa media online bahkan isu ini sama sekali tidak menjadi isu nasional maupun isu regional.
Dari isu tentang klaim Malaysia atas Irfan Bachdim maupun isu tentang Manohara, yang menjadi pertanyaan besar bagi saya adalah apakah “solideritas” menurut masyarakat Indonesia ini telah mengalami suatu komodifikasi hingga segala sesuatu yang berhubungan dengan Indonesia entah itu dalam area privat maupun publik harus ditanggapi dengan serius, bersama, dan secara spartan? Saya pikir tidak. Solideritas memang harus dibangun oleh semua lapisan masyarakat Indonesia untuk mewujudkan cita-cita pendiri negeri ini. Namun tentu saja kita harus berpikir secara matang dan logis tentang apa yang dihadapi. Ambilah contoh isu Irfan Bachdim diatas. Menurut hemat saya akan menjadi lebih bijaksana ketika teman saya itu berpikir lagi terkait tentang asal mula isu, siapa yang melontarkan klaim, dan berbagai aspek lainnya. Bukan begitu?
Kadangkala memang tidak semua solideritas itu logis namun solideritas akan menjadi sangat tidak logis ketika mereka yang mengaku memiliki solideritas tidak mengetahui apa yang mereka hadapi.
*) This post contain photos that taken from Google search results randomly. Copyright of the photos on each site, not on this site.
No comments:
Post a Comment